Ketetapan Hati Tanpa Dilema (lagi)

Menolak untuk melihat alam di kota ini ternyata cukup sulit. Selalu ada saja kesempatan itu. Senang? Oh sangat senang. Tapi saat itu saja. Sesampainya kembali aku di kamar kos, aku merasa sangat bersalah dengan diri sendiri karena telah menghabiskan waktu untuk kegiatan yang tidak ada hubungannya dengan tesis. Kemarin pun terulang kembali. Ada seseorang dari Palembang yang datang ke kota ini. Orang tersebut adalah orang yang kukenal baik. Kami menyempatkan diri berjalan-jalan ke Parangtritis tanpa singgah terlebih dahulu, lalu meneruskan perjalanan membelah daerah Gunung Kidul, melewati desa Panggang dan berujung di Imogiri. Tidak tau berapa puluh kilometer yang kami habiskan.

Meskipun daerah Gunung Kidul penuh dengan ladang penduduk yang ditanami akasia dan pohon jati, tetap saja aku merasa sedih melihat lahan mereka yang lebih banyak batunya dibandingkan tanahnya sendiri. Kami sempat berhenti satu jam melihat ibu-ibu petani memisahkan batu dari tanah dan yang sedang mengeraskan tanahnya dengan alat bantu berupa batang pohon berdiameter 10-15 cm dengan permukaan rata. Temanku berkata bahwa jasa UGMlah yang menjadikan penduduk Gunung Kidul lebih sejahtera, dari sisi sosial masyarakat maupun pertaniannya sendiri.

Tak bisa dipungkiri bahwa kami berdua mendiskusikan banyak hal dan aku belajar banyak darinya. Namun, selalu ada harga yang harus dibayar. Aku membayar diskusi itu dengan waktu berhargaku. Situasi yang benar-benar dilematis ketika harus memilih satu hal, dan mengorbankan hal lainnya seperti ketika aku di detik ini memilih untuk menulis blog, pastilah aku mengorbankan waktu membaca blogmu, kawan.

Sudah saatnya menyadari bahwa ada sesuatu yang tidak bisa kuseimbangkan di dalam kehidupanku, misalnya menyeimbangkan antara kegiatan alam bebas dan kuliah, atau menulis blog dan menulis tesis, membaca buku-buku di luar kepentingan kuliah dan buku-buku yang harusnya kubaca untuk meningkatkan kemampuanku di bidang ilmu komputer, bergaul dengan teman-teman di luar kampus dan teman-teman satu jurusan, dsb. Harus memiliki prioritas. Sudah berulang kali aku menekankan kata “prioritas” dan “fokus” dalam hidupku di Jogja, namun aku selalu kembali lagi dalam lingkaran dilematis tersebut. Hidup selalu menyodorkan beragam pilihan kepada kita. Fujinbucho-ku pernah mengatakan bahwa ketika dihadapkan dengan beberapa pilihan, kita harus memilih pilihan yang lebih sulit karena di dalam kesulitan itulah terdapat tantangan. Jika kita berhasil mengatasi tantangan tersebut, kita akan bertumbuh. Temanku, Yuvi, tadi siang mengatakan hal yang akan ku-cam-kan baik-baik di otakku: “Ketika memutuskan lakukan sesuatu, jangan sampai menyesal di kemudian hari”.

Aku banyak sekali memikirkan beragam hal dan akhirnya bisa menyadari banyak hal juga. Tidak ada hal yang lebih menyenangkan dari kegiatan berpikir kecuali “sadar”. Ketika sadar dan memperoleh pemahaman yang utuh, barulah kita dapat melaksanakan sesuatu dengan totalitas. Kegiatan mendaki gunungku cukuplah sampai yang kemarin-kemarin saja. Aku harus menuliskan catatan perjalanan dari semua kegiatan mendaki tersebut di blog ini. Semua perjalanan harus terdokumentasi dengan baik dan aku belum melakukannya. Ada utang-utang yang harus kupenuhi sebelum mulai mendaki lagi.

Mimpi-mimpi yang hendak kugapai ada di balik kelulusan kuliahku. Lulus kuliah seperti prasyaratku menjalankan hidup selanjutnya. Menulis buku dengan beberapa topik adalah mimpi menarik usai kuliah yang patut direalisasikan. Menjadi penulis. Wow 🙂

Rasanya hambar jika mendaki gunung tanpa adanya aktivitas di dunia nyata. Aku memimpikan “rasa” naik gunung seperti dulu di saat bekerja dan kesibukan yang padat mengisi hari-hariku. Mr. C. W. Wormser dalam bukunya yang berjudul Kemewahan Gunung-gunung pernah menyinggung hal ini juga:

And the work-a-day world is brightened
By the memories we have won.
For the pleasure of life is heightened,
And the cares of life lightened,
When we think of mountains “done”.

Mengapa Harus Melanjutkan Kuliah?

Menjadi guru adalah menyelesaikan masalah dari hulu. Misalnya, jika saat ini aku memilih untuk drop-out dan bekerja di bidang pariwisata yang sangat kusukai ataupun menulis buku, hal tersebut sama saja menyelesaikan masalah dari hilir. Artinya, akar permasalahan bangsa kita adalah pendidikan. Jadi, perbaikan harus dimulai dari pendidikan. Menjadi guru yang memiliki banyak murid dan murid-muridnya menjadi guru selanjutnya dan punya murid lagi, dan seterusnya…dan seterusnya… Bukankah ini yang dinamakan perbaikan secara menyeluruh dan mendasar? Kita memimpikan orang-orang desa meninggikan kualitas kehidupannya seperti orang-orang kota dan orang-orang kota kita pun mulai menyeimbangkan kemampuannya dengan orang-orang luar negeri agar mampu bersaing dan survive. Bukan hal sebaliknya yang kita inginkan bahwa di luar sana isinya adalah orang-orang berkemampuan super canggih sedangkan kita semakin menurun dan dibodohi, akhirnya terlindas oleh zaman. Aku tak mengatakan bahwa profesi lain tidak baik. Profesi apapun jika dimiliki oleh orang-orang yang berkarakter kuat dan cerdas, pastilah akan berdampak positif pada pembangunan bangsa kita. Bukankah tukang parkir dengan kecerdasan tinggi dan karakter seorang direktur akan lebih menyenangkan? Tidak akan ada lagi temanku yang berkomentar tukang parkir kita seperti pengemis yang langsung pergi ketika diberi uang. Tukang parkir ataupun direktur hanyalah masalah peran saja di masyarakat. Aku jadi ingat dengan perkataan Josei Toda pada satu saat. Intinya, beliau mengatakan ingin agar generasi muda yang hadir pada pertemuan saat itu: sebagian menjadi pendidik dan sebagian lagi menjadi pengusaha.

Ada pepatah dari Brazil yang mengatakan bahwa negara dibangun dari buku-buku. Temanku, PT, pernah mengatakan bahwa ia tidak pernah melihat orang-orang besar yang tidak suka membaca. Mengingat hal ini, aku menjadi lebih semangat. Bergeraklah, Maya! Genapkanlah impianmu di Jogja dan bekerja keraslah untuk membuat dirimu layak lulus!

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.