sambungan dari bagian 1:
(lagi) Baca ini pertama-tama
Saya menuliskan nama Mina dan Julie saja, namun di dunia nyata saya menambahkan kata cici di depan nama tersebut. Catatan perjalanan ini hendaknya dibaca berurutan (sequential) agar mengerti dengan tepat detail perjalanan yang sudah terjadi.
Tulisan ini didedikasikan kepada Julie, seseorang yang di dalam kelembutannya tersimpan kekuatan tekad sekokoh gunung, dengan karakter kuat yang “tidak mau menyusahkan orang lain”, dengan tatapan yang penuh daya juang terus mengerahkan diri selangkah demi selangkah menuju Mahameru. Mahameru adalah hadiah untuk orang-orang pemberani seperti Julie.
Juga untuk Mina yang keyakinannya terhadap satu hal tak akan tergoyahkan bahkan hingga matahari terbit dari barat sekali pun, yang mampu membagi keyakinannya pada kita bahwa kita BISA, kita SANGGUP, kita datang hanya untuk ini…… untuk Mahameru. Mungkin ada rasa sakit yang tertahan, ada rasa ingin menyerah. Entahlah, kata-kata itu tak keluar dari mulutnya. Hanya ada kata-kata, “Ayo…” saja.
Terakhir, untuk Ayin, seorang adik kecil yang menunggu di Ranu Pane, yang rela menahan diri tidak mendaki demi tim, mungkin mengorbankan keinginan pribadi demi kawan-kawannya hanya karena merasa tidak siap dan takut merepotkan orang lain. Pendakian ini memang bukan tentang “aku”, tapi tentang “kita”. Karena Ayin, semua barang terjaga dan tersimpan rapi di Homestay. Karena Ayin juga, pendakian ini berhasil. Betapa saya sangat menghargai kepribadian Ayin yang sama sekali tak mementingkan ego tersebut.
Untuk ketiga kawan seperjuangan ini, saya harus melakukan pendakian. Bertiga saja dan dua porter terbaik, kami menggantungkan nyawa kami bersama, kami berbagi dan memang tidak ada cara lain selain ketergantungan dalam lingkaran tersebut.
Saya rasa, kita tidak boleh meremehkan apa pun di dunia ini. Kita harus selalu waspada dan bersiap-siap dengan kondisi terburuk sekali pun 🙂
Pendakian bukanlah sebuah pencapaian, namun kebersamaan. Puncak adalah tujuan, namun keselamatan tim adalah nomor satu. Hanya ada 2 hal saja yang menjadi penegasan dalam pendakian kali ini:
- Harus mencapai puncak paling lambat pukul 7 pagi. Jika tidak, maka harus turun dari batas mana pun keberadaan kita.
- Apabila ada salah satu di antara kita yang tidak sanggup, maka harus turun semua.
Mari kita mulai……. “Mulai berjalan di jalan yang naik”, seperti kata Mina 😀
Senin, 15 Oktober 2012
Pagi-pagi sekali pada pukul 5.30, alarm sudah membangunkan saya. Mandi dan langsung memesan taksi yang akan mengantarkan saya menuju Stasiun Tugu. Seorang teman kos saya yang juga sudah bangun di kamar lantai 2, melongo ke bawah dari teras depannya dan mengatakan, “Hati-hati ya, May” dan “Jangan lupa oleh-olehnya” hahaha hati-hatinya saya turuti, tapi oleh-olehnya tidak. Lain waktu ya, mbak Dewi 😀
Ketiga kalinya naik KA ke Surabaya dan pertama kalinya naik Sancaka.
Makan tidak…makan tidak… akhirnya makan juga karena kelaparan 😀
Pukul 12 siang, saya memutuskan untuk turun di St. Wonokromo, yaitu stasiun sebelum St. Gubeng. Dari sana, saya keluar mencari taksi menuju Bandara Juanda. Perjalanan ini hanya butuh waktu sekitar 30 menit saja. Di bandara, pertama-tama saya bertemu dengan Mina pada pukul 1 lebih 30 menit. Senang sekali rasanya 🙂
Lalu, kami berdua menunggu Julie dan Ayin. Syukurlah, tidak ada delay sehingga kami bisa lebih cepat menuju Tumpang. Lebih cepat 15 menit sepertinya. Dalam perjalanan yang penuh canda tawa, rasanya sangat menyenangkan. Ayin yang baru saya kenal pun ternyata adalah pribadi yang lepas kendali. Ups, bercanda. Pribadi yang tanpa beban maksud saya, sehingga enak diajak bercanda 🙂
Kami melewati area yang terkena lumpur lapindo di Sidoarjo dan ada niat sesaat untuk berhenti dan berfoto, namun hanya sebatas niat saja. Ketika memasuki kota Malang yang justru menawarkan pemandangan yang cantik, Mina sudah tertidur. Beliau benar-benar capek sepertinya karena aktivitasnya yang begitu padat sebelum perjalanan ini.
Foto paling rapi dan bersih selama perjalanan ini 🙂
Sebelum pukul 6 sore, kami sudah tiba di Tumpang, tepatnya di Indomaret depan pasar Tumpang. Pak Laman dengan jeep hijaunya sudah menunggu kami. Kami berbelanja untuk makanan selama perjalanan, yaitu roti. Lumayan untuk mengganjal perut sebelum makan malam. Perjalanan ke Ranu Pane butuh waktu sekitar 1 jam 30 menit. Kami pun sempat mampir ke rumah Pak Laman, dan saya sempat berbincang sejenak dengan istrinya yang pernah membuatkan saya dan teman-teman segelas teh selamat datang sewaktu menginap di rumah Pak Laman dalam pendakian sebelumnya. Ibu, saya tidak akan pernah melupakan kebaikan hati ibu dan bapak 🙂
Kami juga melakukan pendaftaran di kantor TNBTS (Taman Nasional Bromo Tengger Semeru). Sejujurnya saya tidak berani mengajak ketiga teman saya masuk ke dalam karena takut tidak diberi izin dan takut para petugas tidak yakin pada wajah-wajah teman saya yang imut itu untuk mendaki. Intinya, saya takut dipersulit. Ternyata tidak. Hanya sebatas pertanyaan-pertanyaan biasa saja, lalu Pak Laman ikut masuk dan mengobrol dengan para petugasnya.
Satu dokumen serius yang harus saya tanda tangani adalah: surat pernyataan akan mendaki sebatas Kalimati saja dan Taman Nasional tidak bertanggung jawab pada keselamatan kita jika “berani” muncak. Baiklah. Semua hal ada resikonya. Saya tanda tangan dan sebagai saksi, Julie ikut menandatanganinya. Biaya masuk per orang adalah Rp. 7.500,- dan satu kamera dihargai Rp. 5.000,-. Dokumen yang ditandatangani sepertinya lebih sedikit dibandingkan di Ranu Pane, dan biayanya lebih mahal Rp. 500,- hahaha 😀
Cahaya semakin redup pada sore menuju malam. Saya dan Ayin mulai merasa dingin di bagian belakang mobil, namun kami benar-benar menikmati perjalanan sambil berdiri dengan melihat pemandangan-pemandangan indah, juga berbagi cerita-cerita perkenalan awal seperti keluarga, shinjin, dan bahkan kami berbicara tentang bintang-bintang di angkasa. Akhirnya, kami capek sendiri dan kembali duduk. Sombongnya saya bilang ke Pak Laman, tidak perlu ditutupi mobil jeep ini. Sombong juga karena menolak pemberian syal dari Mina dan Julie hahahaha Dinginnya perjalanan, saya rasa adalah penyebab utama Ayin tidak sehat di malam harinya. Saya benar-benar sangat menyesal pada kondisi Ayin.
Sesampainya di desa Ranu Pane, yaitu desa tertinggi di bawah gunung Semeru, Pak Laman membantu kami mencari porter. Hari itu lepas hari raya Karo, yaitu hari raya suku Tengger sehingga sedikit sulit untuk mencari porter. Mereka biasanya akan berziarah ke makam pada hari-hari itu. Syukurnya kami masih bisa mendapatkan porter yang terbaik, yaitu mas Rianan dan kakak iparnya, mas Mono. Kami turun dari jeep. Saya dan Ayin sangat senang melihat kehangatan di kursi depan mobil dan Mina masih asik mengotak-atik ipad nya. Saya rasa Ayin juga setuju jika harus menjaga senior dengan baik 🙂
Kami diundang makan malam oleh mas Rianan dan keluarga, menikmati kue kering perayaan hari raya dan menghangatkan diri di tungku api tempat mereka memasak. Saya senang sekali saat itu karena bisa kembali berkumpul dengan masyarakat desa yang ramah. Selepasnya, kami langsung menuju ke Homestay Pak Tasrip/Homestay Family. Ini adalah satu-satunya homestay di Ranu Pane dan termasuk penginapan terbaik menurut saya.
Kami menyewa dua kamar. Satu orang dikenai biaya sewa sebesar Rp. 75.000,-. Usai mandi, kami melakukan packing ulang, lalu gongyo daimoku. Pukul 11 malam, kami tidur. Ayin merasa badannya dingin. Mungkin juga masuk angin. Kami berpelukan di depan tunggu api. Minum air hangat hanya boleh dilakukan selepas badan sudah normal kembali. Jika badan sangat dingin, langsung minum air hangat, sepertinya tidak terlalu baik juga. Di sini Ayin mengatakan bahwa, esok hari sepertinya ia tak akan ikut mendaki. Pukul 1 dini hari, kami kembali ke kamar masing-masing. Saya pikir ia akan sulit tidur juga pada malam itu. Continue reading “[bagian 2] 3 kawan. 2 hari. 1 mimpi.”