Belajar Matematika

Ceritanya, saya mau mulai belajar matematika lagi. Selama satu tahun terakhir ini, saya fokus belajar (lagi) probabilitas dan statistika. Nah, sekarang saatnya untuk belajar matematika, terutama yang terkait dengan Data Science. Beberapa sumber belajar matematika secara mandiri bisa dilihat di sini. Listnya akan saya tambahkan lagi nanti.

Summer Holiday

Saya ingin menulis, tetapi terlalu banyak yang ada di benak saya. Maka, saya tuliskan dengan cepat saja, hehe. Summer holiday harusnya berlangsung hampir 3 bulan, tetapi tidak ada holiday sebenarnya untuk saya, karena semuanya berjalan normal. Namun, saya memutuskan untuk melakukan banyak hal di summer holiday ini. Holiday di bulan Juli bisa dibilang saya sangat santai karena setelah saya submit 1 paper ke jurnal SCI, saya menambah les mandarin menjadi 2 x 1.5 jam per minggu. Lalu, saya mengunjungi Miaoli – berenang di laut dan mengunjungi beberapa tempat wisata yang sangat indah. Ingin rasanya menuliskan review tempat wisatanya, tapi nanti-nanti sajalah 😀 Lalu, juga pergi ke Yilan, bermain gitar bersama group ensemble saya di BnB.

Sekarang sudah memasuki bulan Agustus. Di pertengahan Agustus, semuanya akan kembali normal. Saya akan mengajar 10 jam di UBM, lalu teaching assistant 2 jam di NTUST. Selain itu, saya juga mengikuti Summer Course di Kansai University (J-MCP Program). Alhasil, ketika Juli saya stop medication dan baik-baik saja, maka sekarang, di Agustus, saya tidak mau mengambil resiko dengan ADHD saya. Jadilah saya mulai mengonsumsi obat-obatan saya lagi.

Lalu, memasuki tahun ke-3, saya memutuskan untuk hidup mandiri. Keluar dari asrama mahasiswa, dan menyewa kamar kecil di daerah Dongmen. Ini semata-mata supaya saya bisa kembali ke pelaksanaan hati kepercayaan saya, yang berdoa menggunakan suara. Selain itu juga, saya berpikir bahwa saya perlu menantang diri lebih jauh lagi, dan menghindari comfort zone saya.

Saya akan menata kembali jadwal saya, menjaga kesehatan dengan baik, beradaptasi kembali dengan lingkungan rumah tinggal yang baru, serius belajar mandarin dan gitar, mempelajari matematika lagi, dan berusaha melakukan apa yang professor saya sarankan, “Kamu itu setelah selesai satu pekerjaan, publish, lalu lanjut lagi ke kerjaan lain, lalu publish lagi. Jangan overthinking!”. Baiklah, Prof!

Terakhir, tanpa menuliskan cerita, saya ingin berbagi beberapa foto 😀

Playing with Con Brio Guitar Ukulele Ensemble Group at Yilan

Memasuki Tahun ke-3 Kuliah S3

Ehm, saya akan memulainya dengan menonaktifkan Facebook saya, namun tidak dengan Instagram. Hal ini dikarenakan saya butuh fokus untuk menyelesaikan beberapa “tuntutan” atau deadline menuju qualification exam. Beberapa hal yang saya pelajari selama 2 tahun ini:

  • Ada research project yang dikerjakan secara individu, tetapi ada juga lab project. Jika mengerjakan sesuatu yang sesuai dengan bidang keilmuan atau kompetensi kita, maka itu adalah sebuah anugrah yang patut disyukuri, apalagi jika mendapatkan profesor yang bidang penelitiannya sama dengan kita.
  • Ambillah mata kuliah yang sejalan dengan penelitian kita. Ada beberapa yang memilih mengambil mata kuliah yang mudah agar tidak tertalu demanding sehingga waktunya bisa digunakan untuk fokus ke penelitian. Ini pun tidak apa-apa.
  • Jika mendapatkan research partner atau postdoc yang bisa membimbing atau memvalidasi hasil penelitian kita, itu pun anugrah.
  • Usahakan nyaman dengan ruang kerja kita. Tetapkan jadwal rutin untuk bekerja. Saya merasa berada di lab meskipun tidak melakukan hal yang produktif, misalnya hanya menonton film atau membaca buku self-help, bisa membantu saya menjaga ritme harian.
  • Kesehatan fisik adalah nomor satu. Saya mengalami banyak sakit yang bervariasi selama di sini, dari penyakit fisik maupun mental.
  • Konsultasikan apapun dengan supervisor, termasuk hal-hal yang menghambat kita dalam penelitian. Kasus ini tergantung juga apakah supervisor kita bisa diajak bicara.
  • Miliki hobi di luar kehidupan lab. Saya bermain gitar dan begabung dengan ensemble gitar yang bermain gitar secara rutin.
  • Tetap jaga pertemanan dengan teman-teman jauh dan jaga hubungan keluarga. Saya bukan tipe orang yang seperti ini, tetapi saya tetap berkomunikasi rutin dengan orangtua saya, setidaknya telepon/video call 2-5 jam per minggu.
  • Jangan mencari konflik yang tidak perlu, apalagi urusan yang remeh-temeh.
  • …dll. Akan saya tuliskan lagi nanti.

Ritalin

Saya masih tidak merasa baik-baik saja dengan Ritalin yang ini. Beberapa bulan lalu, psikiater saya memberikan Ritalin keluaran Kanada, dan minggu lalu saya katakan saya merasa ngantuk setiap kali minum Ritalin. Akhirnya, saya diberikan Ritalin “asli”. Katanya begitu. Meski sama-sama 10mg, Ritalin yang di foto ini, efeknya lebih berat. Ehm, ternyata ada benarnya, tapi saya merasa harus mencari solusi lain atau solusi non-medication.

Saya sulit mengungkapkan rasanya memiliki ADHD; setiap hari seperti perjuangan berat antara Buddha dan Iblis, melawan rasa malas dan selalu mencoba mendisiplinkan diri, menantang diri untuk fokus dan membujuk diri untuk jangan pernah putus asa. Empat bulan lagi saya tepat dua tahun berada di Taiwan. Rasanya campur aduk, tetapi satu kata yang mewakili adalah masa-masa belajar keras, melakukan apa yang saya suka di tingkat lanjutan. Meski saya menyukai apa yang saya kerjakan, tidak setiap hari saya semangat melakukannya. Ketika menemui kesulitan, dan hampir setiap hari memang sulit, saya berusaha mendorong diri saya untuk melangkah maju sedikit. Dengan begitu, saya membuat progress. Ada kalanya, saya begitu putus asa tidak bisa tidur di malam hari, dan obat tidur menjadi teman saya 😀

Getting Offline

Seperti ADHD kebanyakan, yang isi otaknya selalu ramai setiap hari, maka saya mencoba beberapa alternatif untuk membuat hidup saya menjadi lebih nyata dan jauh dari ilusi/daydreaming. Beberapa diantaranya yang sudah dan sedang saya jalankan adalah:

  1. Membaca buku offline dibandingkan informasi dari internet (youtube, blog, dsb). Ini menguntungkan karena informasi yang diperoleh lebih utuh, tetapi memang butuh waktu lebih lama untuk memahami isi buku. Informasi dari internet saya gunakan untuk mencari rekomendasi buku atau pengetahuan tertentu yang saya butuhkan saja.
  2. Berteman secara offline, yaitu mengobrol dan nongkrong bersama teman-teman, atau mengikuti beberapa komunitas offline. Buat saya, hubungan secara langsung atau kontak fisik seperti tatapan mata, guyon bareng yang suara tertawanya terdengar lebih nyata, lebih saya sukai. Lagi-lagi ini pun butuh usaha karena tidak bisa terjadi jika saya hanya mager membalas chat di kasur.
  3. Bermain alat musik dengan tangan sendiri dibandingkan hanya mendengarkan musik atau menonton video klip lagu.
  4. Belajar menulis karakter mandarin dan menikmati keindahan kaligrafi. Saya sangat suka melihat goresan kaligrafi karakter mandarin. Sangat indah!
  5. Memulai olahraga baru, yaitu wing chun kungfu. Alasannya sederhana, yaitu saya ingin menguatkan otot saya. Saya masih mau mendaki gunung, tetapi jika otot saya lemah, maka saya rentan cedera. Memang asyik menonton reels pemandangan yang indah dan tulisan motivasi di IG, tapi saya mencoba kembali ke dunia nyata. Ini lebih sehat.
  6. Menulis blog dibandingkan menuliskan status di media sosial. Di blog, saya bisa menuliskan penjelasan panjang lebar sesuka saya, dan tidak berlalu lalang di timeline teman saya. Selain itu, saya tidak pernah membuka blog saya sendiri untuk memeriksa comment dan like. Ini sudah pasti tidak mendistraksi keseharian saya.

Untuk poin terakhir, saya masih sangat berjuang membuat diri saya tidak tergoda dengan media sosial. Btw, selama 5 minggu terakhir, saya hanya minum 2 pil tidur 🙂 Perlahan saya memulihkan diri saya sendiri meskipun psikiater kampus bilang jangan terburu-buru. Beliau mengatakan untuk lepas dari obat ini butuh tahunan, tapi saya berusaha untuk tidak minum obat apapun terkait ADHD pada 1 bulan mendatang. Saya akan menerapkan 6 poin yang saya tuliskan tadi sebagai coping mechanism saya, selagi berusaha belajar dengan baik di sini.

Kaitan Theta Waves dan ADHD

Ini sangat menarik. Ketika saya mulai mengalami sleep paralysis di usia 17 tahun, dan berlanjut on-off hingga 10 tahun berikutnya, saya baru tau sekarang, bahwa ini terkait erat dengan ADHD. Lebih lanjut, ADHD ternyata memproduksi gelombang theta lebih banyak dibandingkan orang normal.

AHA! Sekarang semuanya menjadi jelas. Saya akan tuliskan detailnya nanti pas mood menulis saya muncul. Saya juga akan mencari informasi terkait pertanyaan: “Apakah orang yang theta waves nya dominan mengalami tidur yang lebih sedikit?”.

Beberapa jam yang lalu saya mengirimkan pesan kepada psikiater saya apakah memungkinkan untuk tes EEG, supaya semua asumsi saya menjadi jelas, karena biasanya apa yang saya rasakan, memang benar terjadi 😀

Always Yes!

Case 1: Con Brio吉麗樂團

<<one week before concert>>
Me: I think it will be my first and last concert with Con Brio.
<<at the dormitory, I learn how to say no. E.g., I am sorry I cannot join this ensemble because I am very busy at school. -> repeated many times>>
After the concert: Do you want to join Con Brio?
Me: <<without thinking>> Sure!

Notes: Now I join 2 ensemble groups. One is an online ensemble with Neorra, and one is Con Brio 吉麗樂團. I failed to control myself! Thanks to my impulsivity???

Case 2: Mountain Hiking

Me: Please control yourself! Don’t hike~ Focus on your study!
<<after finished reading ADHD book>>
Me: Oh, it is an interest-based brain, hyperactive; the book also states that exercise can produce more dopamine and improve cognitive function, and so on.
I am so much like that! Nice! Let’s hike more mountains (without feeling guilt)!!!

Case 3: Study

Me: Finally, I will finish all courses this semester! I already got A+ for eight courses, one B+, and one ongoing course. Now I can focus more on my research!
My advisor: Are you willing to be the teaching assistant who needs to handle course practice for two hours per week?
Me: Yes, Prof!

Hadiah Ulang Tahun ke-36

Hanya ada satu hadiah ulang tahun terbesar dalam 36 tahun hidup saya, yaitu ketika saya tau nama symptoms yang selama ini saya alami.

Kelas 1 dan 2 SD, saya selalu jalan-jalan di kelas dan hampir tidak pernah duduk di kursi. Juga ketika TK, saya selalu dibuat sebangku dengan cowok supaya saya diam. Saya adalah murid yang “di-cap paling bermasalah” ketika kelas 6 SD. Wali kelas saya mengatakan bahwa selama beliau mengajar puluhan tahun, baru kali itu bertemu murid seperti saya. Itu adalah tahun yang mengubah hidup saya, ketika saya memutuskan mau menjadi guru; dan sekarang adalah tahun ke-14 sejak saya mendapatkan NIDN (nomor induk dosen nasional).

Ketika tau saya ADHD, rasanya seperti memakai kacamata untuk otak. Semua kejadian dalam hidup menjadi jelas, dan saya bahagianya luar biasa. Saya seperti menemukan harta karun dalam hidup saya.

Psikiater mengatakan hanya ada 1 obat buat saya saat ini, yaitu menyukai semua aktivitas saya; lebih tepatnya menyukai kuliah S3 saya sampai tergila-gila. Hanya itu obat untuk ADHD, karena otaknya memang berbeda, yaitu interest-based brain, bukan priority-based brain. Untungnya, field ini adalah satu-satunya hal yang secara konsisten saya lakukan sejak kecil.

Di sisi lain, saya pernah meninggalkan kuliah sastra inggris di semester 6, tetapi justru mengambil 1 mata kuliah yang sama sebanyak 2x, hanya karena saya menyukai topik tersebut dan ingin mendapatkan perspektif berbeda dari dosen yang berbeda.

Saya cukup beruntung bertemu psikiater yang handal di sini. Beliau lulusan Harvard dan Ph.D dengan salah satu fokusnya ADHD, yaitu Dr. Shao-Chiu Juan (Joe), M.D., M.P.H., M.A., Ph.D. 

Jadi demikian. Setelah depresi beberapa bulan (jangan lama-lama!), saya seperti “lahir kembali”, memulai hidup baru, atau “myo” dalam Nammyohorengekyo yang berarti “hidup kembali”. Saya tidak sabar menantikan apa yang ada di depan sana, sembari meniti jalan berliku ini dengan gembira.

Kalaupun nantinya saya terjatuh, saya yakin bahwa saya terjatuh di jalan yang benar. Semoga 😆; dan ada banyak sahabat yang selalu menopang saya. Selalu seperti itu. Meskipun ini adalah perjalanan dalam kesendirian, saya selalu mampu bangkit lagi karena Bapak/Ibu dan teman-teman semua. Setelah 1 bulan “medication” dan membenahi hidup, saya merasa sudah kembali seperti dulu. Terima kasih karena selalu ada untuk saya 😆❤️🍻

Terbuka terhadap ADHD

Ketika saya terbuka terhadap apa yang saya alami, banyak teman saya yang juga terbuka bahwa anak-anaknya mengalami ADHD; juga teman-teman saya banyak menceritakan bahwa dirinya sendiri atau saudaranya pun sama: ADHD. Menghapus stigma ADHD (juga OCD, PTSD, dan mental health issues) sebagai hal negatif di dalam masyarakat adalah hal yang cukup menantang, bila tidak dikatakan sulit. Upaya edukasi adalah hal nomor 1, bahwa tidak apa-apa memiliki karakteristik otak yang berbeda.

Satu minggu setelah saya mendapat kepastian ADHD, saya mengirimkan email kepada supervisor S3 saya. Paragraf pertama di emailnya adalah: I am sorry to hear that dan beberapa kalimat dorongan semangat. Lalu, paragraf kedua adalah meminta progress penelitian. That’s it! Hidup kembali normal. Lalu satu minggu setelahnya beliau meminta saya untuk menjadi teaching assistant nya, mengajar praktikum salah satu mata kuliah: 2 jam per minggu, di semester fall ini. Jadi, ADHD di mata professor saya tidak membuat perbedaan apapun. ADHD adalah urusan saya, bagaimana saya mengatasi kekurangan yang disebabkan olehnya. Namun tidak ada “makan siang gratis”. Bekerja berjalan normal, dan tidak ada excuses.