Hidup yang Singkat

Mengetahui tidak sama dengan mengalami. Ketika saya mengetahui sesuatu, misalnya saya tau bahwa dalam hidup yang singkat ini kita tidak bisa memenuhi semua ambisi kita, tetapi masih saja tidak membuat prioritas dalam hidup. Artinya saya tidak benar-benar mengalami kondisi bahwa hidup itu singkat.

Menjadi dosen di perguruan tinggi swasta selalu membuat saya dilema. Di sisi lain mau menjadi spesialis (mata kuliah tertentu), tetapi tuntutan mengisi kekosongan dosen untuk mengampu mata kuliah lain menjadi sebuah kewajiban. Akhirnya, waktu yang dihabiskan mempelajari banyak hal membuat kita menjadi generalis. Tidak ada yang salah dengan menjadi spesialis ataupun generalis, hanya saja kita harus menjadi nyaman dengan diri kita sendiri. Ketika ada yang tidak nyaman atau sesuatu yang mengganjal di hati kita, artinya diri kita memberi tanda bahwa kita harus segera beradaptasi lagi. Bahwa hidup adalah pertumbuhan terus-menerus adalah pasti, maka biarkan diri kita bertumbuh dengan kecepatannya sendiri.

Kekuatan Jodoh

Jodoh yang saya maksudkan di sini bukanlah dalam artian sempit yang terbatas pada persoalan cinta seperti “pacar” atau “pasangan hidup” saja. Namun jauh lebih mendalam. Saya mau berbagi pengalaman “aneh” saya terkait ini. Mengapa “aneh” dengan tanda petik? Karena bagi saya aneh. Bagi semesta, tidak. Ini adalah hukum kewajaran.

  • Pertama, selama 7 tahun (2003-2010) sejak terkena sindrom sleep paralysis, saya tidak pernah mencari tau sama sekali di google. Padahal jika terkena gejala penyakit tersebut dan langsung googling, mungkin saya langsung tau nama penyakit tersebut. Tujuh tahun mencari nama penyakit ini adalah waktu yang lama dan berbelit-belit, padahal jawabannya ada di depan mata. Ini bertolak-belakang dengan pengalaman sakit bell’s palsy saya, yang sebelum 24 jam, saya bisa tergerak untuk googling dan tau dengan sendirinya.
  • Kedua, ini lebih di depan mata lagi. Namun lagi-lagi tak terlihat oleh saya. Di awal-awal kehidupan sebagai mahasiswa di Jogja, saya mencari tempat kursus gitar, dan terus mencari sampai lulus, dan tidak ketemu. Di ISI akhir-akhir ini saya mendapati banyak punggawa gitar, tapi ketika dulu hampir tiap bulan ke ISI, bahkan ada satu waktu seminggu 3x di ISI, saya tidak pernah tau hal ini. Begitu juga saya baru tau ada guru-guru hebat dan beragam event terkait gitar di Jogja ketika saya sudah di Jakarta, padahal saya sering googling. Amazingly, di Jakarta, tanpa usaha apapun, saya mendapati Sekolah Gitar Jakarta di depan mata, dan untungnya saya pernah membaca sekilas informasi sekolah tersebut di google ketika di Jogja, sehingga pas ketemu pertama kali, saya langsung “merasa cocok”. Trust your guts 😀
  • Ketiga, engkong saya menulis 2 buku terkait Tao dan Meditasi hampir 20 tahun lalu, dan… saya bahkan tak pernah tertarik membaca sampulnya, apalagi membuka halamannya. Malam ini, saya baca judulnya, buka lembaran pertama dan baca hingga halaman terakhir, dan… WOW! Satu kutipan yang engkong saya tulis sebagai pesan guru spiritualnya dulu adalah, “Orang yang tak punya, tak kan pernah merasa kehilangan. Orang yang tak pernah kehilangan, hidupnya akan damai”. Waktunya mungkin sudah tiba.

Itulah tiga contoh pengalaman saya. Saya bertanya-tanya mengapa saya tidak bisa melihat hal-hal yang ingin saya lihat, mengetahui apa yang saya cari, mendapatkan hasil dari apa yang saya fokuskan. Saya diberikan alternatif yang sama sekali tidak saya pikirkan, dan untungnya saya menjalani semuanya.

  • Pertama, jika saya langsung tau nama penyakit saya adalah Bell’s palsy, mungkin saya tidak akan pernah menjadi seorang Buddhist. Tujuh tahun baru mengetahui nama penyakit tersebut, memberi saya waktu untuk belajar dan mendalami Buddhisme secara kukuh.
  • Kedua, jika di Jogja saya langsung bertemu guru gitar ataupun kursus gitar, mungkin saya tidak akan pernah belajar menyintai alam melalui pendakian-pendakian gunung, karena sulit mempertahankan “keindahan kuku gitaris” di gunung. Gitar muncul di saat yang tepat, ketika saya tidak bisa lagi membendung keinginan bergitar. Sementara itu, pengalaman pendakian gunung selama masa-masa di Jogja dulu telah membantu dan mempermudah saya dalam pendakian saat ini. See? Ini hanyalah persoalan waktu yang tepat, hati yang siap, jodoh yang dekat (pertemuan dengan guru gitar dan teman-teman gunung)
  • Ketiga, jika dulu saya membaca bukunya, apakah saya akan percaya pada apa yang ditulis oleh engkong saya? Tentu tidak percaya. Sekarang? Cukup aneh isinya, tapi saya percaya. Lagi-lagi waktu yang tepat ketika selama 20 tahun saya diminta berkelana dulu, baru dianggap siap membacanya.

Ya, begitulah kira-kira. Saya tidak tahan jika tidak menuliskan oretan yang belum dirapikan ini. Publish saja, tutup mata.

Menjaga Hati

Sebaiknya kita memang pandai menjaga hati. Bukan demi orang lain, tapi demi kebaikan diri sendiri. Secara tak sadar kita saling terhubung. Kita terhubung dengan orang lain, hewan di sekitar kita, bahkan partikel-partikel kecil di seluruh penjuru alam semesta. Oleh karenanya, menguntungkan bila kita menjaga hati. Hati yang dijaga dengan baik pasti tak ingin menyakiti orang lain, termasuk orang-orang yang berbeda pandangan hidup, juga politik.

IMG_8163

Sore tadi saya tak tahan untuk berkomentar disalah satu grup yang saya ikuti. Bukan untuk apa-apa, melainkan menjaga keharmonisan diantara anggota grup saja. Kita melindungi suara-suara diam yang sebenarnya merasa tersakiti dengan meme ejekan lawan politik yang berbeda kubu. Ketika kita membaca berita negatif atau mengeluarkan emosi negatif, jiwa kita pasti terpengaruh. Makanya kita mudah merasa lelah dan tidak bahagia. So, mari menjaga hati kita! Demi kebahagiaan kita semua.

Sedihnya Saya…

Sedihnya saya,
adalah ketika ada banyak ide yang belum bisa direalisasikan cepat.

Sangat banyak.
Jangan-jangan karena saking banyaknya.

Huff!
Termasuk ide menulis.

Setiap hari saya ada banyak cerita,
ada sangat banyak hal yang ingin saya bagi.

Entahlah…
Menulis ternyata sebuah perjuangan.

Bergerak Secepat 4G

Tahun ini usiaku 30 tahun; sekitar 2 bulan lagi lah tepatnya…. Ehm! Sedikit cemas, bercampur perasaan yang ga jelas di dalam diriku. Jika aku hidup hanya sampai 60 tahun, itu artinya aku sudah menjalani setengah dari hidupku. Aku ngapain saja ya selama 30 tahun ini? 😀

Terkadang nasib kuliah S2 4 tahun masih menghantui diriku. Disisi lain aku malah mensyukurinya. Hari-hari selama 4 tahun di Jogja yang tak mungkin akan kuulangi lagi. Pertemuan dan berguru dengan orang-orang yang sangat menginspirasiku. Lagipula aku selalu yakin kehidupanku di Jogja yang seperti itulah yang mendorongku dan membuatku bertahan hidup di Jakarta sejak pertengahan tahun 2014.

Bila kuumpamakan kehidupan di Jogja seperti handphone lemot dengan jaringan 3G nya, kehidupan awal-awal di Jakarta sebagai 3.5G, maka sekarang di tahun ini aku harus bergerak lebih cepat secepat jaringan 4G LTE. Lima kali lipat dibandingkan kecepatan 3G.

3g-vs-4g-internet-speed-comparison

5g-speedometer-logo

Aku tak bermaksud membuat ulasan perbedaan 3G dan 4G di sini, hanya mengambil perumpamaan sederhana saja. Salah satu cara mencapai kecepatan 4G ini adalah dengan tetap menulis. Tidak tau apa hubungannya, namun dengan menulis seperti saat ini aku merasa lepas. Bebanku berkurang. Mungkin ada baiknya jika tiap hari aku melepaskan beban dengan menulis, menulis, dan menulis. Harusnya jika beban harian dilepaskan setiap hari, esok pagi hari berikutnya kita bisa berlari dengan lebih kencang.

AndroMax M25

Tulisanku ini sama ga jelasnya dengan diriku yang sekarang. Ehm! Tahun ini harus menjadi tahun menulis buatku! Menulis jurnal apalagi! Ngomong-ngomong tentang 4G ini, aku berniat mengganti kartu simpatiku ke 4G juga, selain tadi baru kubeli MiFi Andromax M25 dari sepupuku yang membuka toko handphone di PTC Palembang. Ini modem yang harganya pas dikantongku. Bold kemahalan, lagian di Palembang Bold belum masuk.

Aku akan bekerja lebih giat lagi jika sudah ditunjang oleh bentukan fisik MiFi 4G LTE seperti ini. Ngomong-ngomong, di awal bulan ini aku baru menerima project pertama setelah sekian tahun ga ngapa-ngapain: sebuah website company profile. Ganbatte, Maya!

Belajar, Berlatih dan Berjuang

Beberapa hari terakhir ini, otak memang penuh. Ada kekhawatiran sedikit juga, mungkin semacam kegalauan. Alangkah banyaknya yang harus dikerjakan, tapi jangan mengeluh, Maya ^^ Jangan berpikir banyak, melangkahlah terus…

Hingga awal Mei ada 3 agenda:

  • belajar (untuk UTS 3 mata kuliah dan sidang akhir tesis) (UGM),
  • berlatih (lari 2,4 km dalam 12 menit, renang 25 meter, push up, sit up, pull up, dll…)(Wanadri, YABI)
  • berjuang (untuk persiapan bunkasai)(Soka Gakkai Indonesia).

Tiga hal itu adalah tiga hal yang sangat penting dalam hidupku. Ketika belajar, aku ingin mengasah otakku untuk bisa berpikir, beranalogi, berlogika, mengasah semua hal yang berkaitan dengan IQ. Orang-orang bilang antara IQ, EQ, dan SQ haruslah seimbang. Poin kedua untuk mengasah EQ. Kugunakan medan alam sebagai pusat latihan. Melatih mental, fisik, mengasah empati, solider, tanggung jawab. Terakhir adalah yang terpenting di atas segalanya karena itu yang merupakan fondasi dan pusat hidupku. Itu kunamakan filosofi hidup – Buddhisme yang dikemas dalam sebuah komunitas para boddhisatva muncul dari bumi bernama Soka Gakkai.

CIMG6774

Berjuanglah terus, Maya! Bergeraklah sebelum membatu. Lakukan apa yang harus dilakukan dan tuntaskan tanggung jawabmu dalam kehidupan kali ini. Nammyohorengekyo.

WANADRI

Dua tahun belakangan sejak mengetahui informasi PDW (Pendidikan Dasar Wanadri) 2012, pikiran tentang WANADRI ini tak bisa lepas dari otakku. Sangat mengesalkan memang. Tahun 2012 lalu aku ingin ikut, tapi aku benar-benar tak tau harus mulai dari mana. Aku tak tau apa-apa soal WANADRI, dan sekarang, berkat kang Non** yang rajin posting di grup facebook WANADRI sejak tahun lalu, juga foto-fotonya kang Ke**, ditambah lagi aku pernah mengikuti pendidikan YABI yang ternyata isinya banyak orang WANADRI juga, pikiranku semakin menggila. Menggila karena aku mendapatkan apa yang kucari. Eureka!

200px-WanadriWANADRI

Apakah ini yang dinamakan passion? Apakah passionku terhadap gunung dan pendidikan alam bebas begitu besar? Apakah aku punya harapan besar terhadap WANADRI? Aku tak tau, aku hanya tau bahwa pikiran tentang WANADRI sedikit banyak telah membuatku kurang fokus terhadap tesis. Aku hanya berpikir WANADRI sejalan dengan prinsip dan gaya hidupku. WANADRI sesuai dengan semangat Gakkai. Itu hanya sejauh yang kuketahui. Bisa saja aku salah. WANADRI bukan kambing hitamku. Aku hanya mengekspresikan ketertarikanku yang sangat besar terhadap WANADRI, dan aku tak bisa menghilangkan rasa itu hingga sekarang.
WANADRI…OH…WANADRI!!!

Matinya Ibu Si Roy

tak sengaja aku mampir ke salah satu tulisan blog tentang kematian ayah si penulis blog.

aku membaca judulnya saja, tak ada keinginan untuk lanjut menuntaskan.

entahlah, kadang mendengar kata kematian, aku selalu mengait-ngaitkannya dengan perasaanku sendiri.

mungkin rasa kehilangan, rasa kangen pada banyak almarhum…

ahhh… entahlah, tapi ingin kupastikan bahwa itu bukan rasa penyesalan.

rasa mati abadi bagiku adalah kematian ibunya Roy dalam Balada si Roy.

ah, jangan sampai itu terjadi padaku.

amit-amit tjabang bayi!

Kesetaraan

Beberapa waktu lalu, saya membaca sebuah buku yang mengisahkan profil Nelson Mandela, Rosa Parks, Gandhi, dan para tokoh pejuang hak asasi manusia lainnya. Mereka adalah orang-orang yang sadar lebih dahulu tentang arti sesungguhnya menjadi manusia dan mengerti bagaimana seharusnya antar-manusia tersebut hidup berdampingan. Lebih jauh, mereka berani memperjuangkan prinsip tersebut hingga batas maksimal seperti yang bisa kita tuai hasilnya saat ini.

Berbicara tentang kesetaraan, berkaca dari perjuangan “apartheid” orang-orang besar tersebut, hal sederhana yang bisa kita terapkan saat ini sebagai individu dan yang terpikirkan oleh saya adalah prinsip berteman dengan siapa saja.

“Berteman dengan siapa saja” artinya kita menerobos semua perbedaan dan melihat hati dari manusia itu sendiri, toh lebih penting apa yang kita lakukan sesudah kita lahir daripada mengkhawatirkan label kelahiran kita pada kubu apa, bukan?

Kekosongan. Malam. Sakit.

Tentu saja aku hendak berhenti menarikan jariku di atas tuts keyboard ini,

berhenti memutar kata di otakku,

atau juga asinnya air yang sudah muncul di ujung mataku.

Kadang-kadang bahkan hampir selalu, aku membenci diriku ketika sakit,

karena aku tau bahwa sakit bersinergi dengan perenungan,

yang ujung-ujungnya membawaku pada sebuah kesadaran baru.

.

.

Ah, sebenarnya ini bukan berawal dari sakit.

Ini berawal dari tidur menjelang subuh.

Malam, sama seperti sakit.

Kuberpikir bahwa malam dan sakit adalah pasangan serasi,

pasangan yang, sekali lagi, bersinergi dengan perenungan,

yang ujung-ujungnya membawaku pada sebuah kesadaran baru.

.

.

Ah tidak juga.

Bukan hanya malam dan sakit.

Mungkin kekosongan.

Kosonglah yang membuatku berpikir macam-macam,

yang membuatku tidak bisa tidur,

dan akhirnya membuatku sakit.

Sakit seperti ini adalah sakit yang dibuat-buat.

Sakit yang seharusnya tidak perlu dialami.

Sakit yang sebenarnya bisa dicegah.

.

.

Masalah di hilir sebaiknya diselesaikan dari hulu.

Kekosongan, malam dan sakit.

Mengobati kekosongan adalah dengan tindakan,

dan tindakan baru terwujud jika ada pemicu.

Pemicunya apa?

.

.

Oh ya, aku pernah dengar orang mengatakan bahwa,

dengan tindakan, semuanya akan menjadi hidup.

Orang yang bertekad tau bahwa tekad semakin lama akan memudar,

makanya perlu diperbarui selalu.

Kekosongan ini adalah tanda penyegaran,

bahwa sudah saatnya aku mengisinya dengan sesuatu yang baru.

Entahlah, kadang-kadang aku tidak bisa berpikir.

Aku juga tidak tau apa lagi yang hendak kutuliskan setelah kata ke-240 ini.

.

.

Sssstttt. Kau diam saja.

Aku tau bahwa aku bisa menyelesaikan permasalahan ini.

Tak perlu mengkhawatirkan aku.

Aku tau pemicu apa yang bisa mengarahkanku pada tindakan,

dan setelah bertindak,

tanpa perlu kukirim merpati putih,

kabar pasti sudah tersiar di tempatmu.